Senin, 17 Maret 2008

Artikel.....

Bandung dan Musik Indonesia

Pengantar:

Bandung selama ini dikenal sebagai gudang musisi berbakat. Sejumlah grup band, musisi, dan penyanyi terkenal lahir di kota ini. Para kreator musik, sejak dekade 1960-an hingga kini, kerap menghasilkan karya dan gaya yang kemudian menjadi tren. Dalam perkembangannya, musik kini telah menjadi sebuah industri berskala besar dengan intensitas tinggi. Diakui atau tidak, wajah musik tanah air dewasa ini tidak lepas dari peran musisi Bandung.


Tim "PR" yang terdiri Retno H.Y., Diro Aritonang, Dudi Sugandi, dan Noe Firman menurunkan tulisan tentang dinamika dunia musik Bandung, yakni "Bandung dan Musik Indonesia" serta "Gejolak yang Mendobrak Kekolotan dan Berpotensi Besar Tetapi tak Berdaya, Semoga bermanfaat.

Redaksi


APAKAH nama-nama seperti Harry Roesly, Iwan Abdulrachman, Gito Rollies, Euis Darliah, Niscky Astria, Doel Sumbang, Mel Shandy, Arman Maulana, Dewi Gita, atau kelompok Bimbo, The Rollies, Giant Step, Zamrud, /rif, Peter Pan -- untuk sekadar menyebut beberapa nama -- akan tetap dikenal dalam khazanah musik Indonesia seandainya mereka tidak berasal dan muncul dari Bandung? Pertanyaan itu penting namun sekaligus tak menghendaki jawaban. Jika pun ada, maka itu hanya kemungkinan. Mungkin saja mereka akan tetap eksis dan hadir dalam khazanah perjalanan musik Indonesia, namun dengan kenyataan yang pasti berbeda.


Hal itu merupakan sebuah keniscayaan bahwa seorang seniman (baca: musisi dan penyayi), bagaimanapun lahir dan dibesarkan oleh ruang proses kreatif yang berada di sekelilingnya. Ruang yang tak hanya akan memengaruhi pilihan dan kualitas estetikanya, tetapi juga berpengaruh pada kegairahan berproses kreatif itu sendiri, sehingga kegairahan itu terus hidup dalam setiap lapisan generasi. Bahkan, lebih jauh, ruang itu juga membangun kegairahan pada karakter apresiasi publik.


Bandung, sebagi tempat, adalah sebuah ruang kreatif. Kota yang tak bisa diasingkan dari perjalanan dan perkembangan khazanah musik di Indonesia. Hal itu tak hanya mendasar pada kenyataan secara kuantitas -- bagaimana dari kota ini tak henti-henti lahir para musisi dalam setiap periode sehingga terjadi kontinuitas generasi yang tak putus-putusnya -- akan tetapi juga dari tawaran warna musik mereka. Demikian pula dengan karakter publiknya.


Meski akhir-akhir ini sejumlah penyanyi dan kelompok musik baru bermunculan dari Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta, ungkapan lama itu tetap tak berubah; Bandung tetap menjadi barometer perkembangan musik di Indonesia.


Banyak sebab, mungkin juga alasan, untuk sedikit banyaknya memercayai hal itu. Termasuk dari persoalan geografis Bandung yang berdekatan dengan Jakarta, ibu kota yang menjadi pusat dari segala sesuatu, mulai dari pemerintahan hingga ekonomi.


Namun, inilah yang kemudian menjadi menarik karena ternyata sepanjang sejarah perkembangan musik pop, Jakarta tidak dianggap sebagai barometer, kecuali dalam urusan industri produk rekaman. Apabila diandaikan, Jakarta tak lebih dari sekadar pasar, bukan pemasok seperti halnya Bandung.


Letak geografis yang berdekatan dengan Jakarta membuat Bandung menjadi kota pertama yang menerima informasi setiap perkembangan baru yang terjadi di Jakarta, sekaligus juga memberi pengaruh. Akan tetapi, lebih dari itu, Bandung sesungguhnya juga diuntungkan oleh suasana kulturalnya yang berbeda dengan Jakarta. Suasana yang masih memberi tempat pada keakraban, yang mau tak mau menjadi kenyataan yang turut membangun kondisi-kondisi kreatif para musisi.


Hal itu telah terjadi sejak dulu. Paling tidak, sejak akhir periode 1960-an dan awal tahun 1970-an yang melahirkan sejumlah kelompok musik seperti Trio Bimbo (kemudian lebih dikenal dengan Bimbo setelah masuknya Iin Parlina), Freedom, Aneka Nada Yunior, Rhapsodia, Savoy Rythm, The Peels, Red & White, Diablo Band, Thippiest, Delimas, Paramaour, Batu Karang, Giant Step, Finishing Touch, dan sejumlah nama seperti Gito Rollies, Harry Roesli, Jajat Paramour, Dedy Stanzah, Beny Soebarja atau Bonnie Rollies. Beberapa periode kemudian, lahir pula generasi-generasi seterusnya yang menambah riwayat panjang para musisi Bandung dalam khazanah musik di Indonesia. Mulai dari Euis Darliah, Nicky Astria, Nicky Ukur, Elfas, Doel Sumbang, Harry Mukti, Ria Anggelina, dan seterusnya hingga yang muncul terkemudian, seperti Zamrud, /rif, dan Peter Pan.



"Berbeda dengan Jakarta, Bandung masih memiliki suasana silaturhami sehingga waktu dan ruang untuk melakukan kreativitas menjadi lebih leluasa," kata Harry Roesly yang ketika itu merupakan salah seorang personel kelompok Batu Karang.


Suasana kultur di Bandung, seperti dinyatakan Harry Roesly, juga agaknya tak bisa dipisahkan dari kenyataan bahwa Bandung memiliki sejarah yang tak bisa dipisahkan dari kenyataannya sebagai kota kosmopolitan. Kota tempat berbagai budaya diterima kehadirannya, yang berpengaruh ke dalam sikap berkesenian yang serba egaliter.


"Lihat saja dalam ajang tahunan 'Pesta Musik' di Jalan Braga. Semua tampil bersama, tanpa ada perasaan senior-yunior. Saya, atau Ferry Curtis, atau juga Mukti-Mukti, masih tetap mau main di panggung 'agustusan' tanpa merasa canggung, apalagi merasa gengsi," kata Micko, musisi yang pernah tergabung dalam kelompok Protonema dan Java Jive, yang kini lebih banyak membina, mempromosikan dan mengantar grup-grup band muda untuk memproduksi albumnya lewat indie label ini.

**


NAMUN, rasanya tak cukup hanya karena letak geografis dan sifat kulturalnya sehingga Bandung disebut sebagai barometer perkembangan musik Indonesia. Yang tak kalah pentingnya adalah militansi para musisi itu sendiri. Kenyataan itu telah terasa jauh sejak tahun 1960-an dan 1970-an dengan segala keterbatasannya pada masa itu.


Militansi bermusik ketika itu berlangsung tanpa beban apa pun, kecuali kegilaan pada musik. Pada tahun-tahun itu pula, selepas tumbangnya Orla dan awal Orba, ketika seluruh larangan dicabut -- termasuk musik ngak-ngik-ngok pada jaman Orla -- lagu-lagu dari kelompok cadas seperti Deep Purple dan The Rolling Stones menjadi lagu "wajib" dari berbagai kelompok musik, terutama bagi band-band panggung, lengkap dengan atraksi mereka yang sensasional.


"Pada masa itu, boro-boro ada MTV seperti sekarang, untuk mendapatkan piringan hitam saja susah. Untuk mencari dan menghafalkan lagu-lagu terbaru dari The Rolling Stones atau Deep Purple, tak jarang harus mencarinya lewat Radio Australia. Itu dilakukan dengan susah-payah," ujar Harry Roesly mengenang. Ia pun menambahkan, peran majalah Aktuil pada masa itu tidaklah sedikit. Majalah musik yang terbit di Bandung itu bahkan sangat memberi pengaruh besar pada semangat kreatif para musisi Bandung, selain juga menyuguhkan informasi-informasi terbaru tentang perkembangan musik.


Di tengah kegandrungan membawakan lagu-lagu rock dari kelompok-kelompok ternama itu, terutama bagi band-band panggung, di kampus-kampus juga berkembang sentuhan-sentuhan warna musik yang lain. Dalam hal ini tak bisa dilewatkan nama-nama seperti kelompok Bimbo dan sosok Iwan Abdulrachman.


"Iwan ketika itu turut memberi warna lain dalam perkembangan musik dari Bandung," ujar Harry Roesly, yang ketika itu juga mencoba melakukan eksplorasi musikal ke wilayah musik-musik tradisi Sunda, seperti yang dilakukannya dalam garapan Opera Ken Arok.


Apabila pada periode akhir 1960-an dan 1970-an perkembangan musik di Bandung lebih didominasi oleh kemunculan grup-grup band, maka pada tahun 1980-an perkembangan lebih bergerak pada munculnya para penyanyi generasi terbaru, terutama pada pertengahan dekade 1980-an. Pada masa itu muncul sejumlah vokalis dengan potensi yang mengagumkan dalam berbagai pilihan warna musiknya, sebutlah Nicky Astria dengan lagunya seperti "Jarum Neraka" dan "Tangan-tangan Setan". Demikian pula kehadiran Tri Utami, Poppy Mercury, Elfa Cecisiora, Mel Shandy, atau Harry Mukti.


Di samping sejumlah wajah-wajah baru tersebut, perkembangan musik di Bandung juga ditandai dengan munculnya wajah-wajah lama yang tampil bersolo karier. Sebut saja, Gito Rollies dengan "Astuti", atau juga tampilnya Dedy Stanzah dengan lagu "Aku Cemburu". Secara umum, warna musik Indonesia pada periode 1980-an itu didominasi oleh dua arah. Warna musik pop rock yang diramaikan juga oleh tampilnya penyanyi-penyanyi seperti Anggun C. Sasmi, Renny Djayusman, Silvya Sarce, Nicky Astria, dan Nike Ardilla. Sementara itu, di seberang lain, musik pop romantis mengusung fenomena yang menarik dengan identifikasi yang disebut lagu-lagu cengeng. Tak kalah menarik munculnya sebuah tren musik baru, fussion, yang antara lain dikedepankan kelompok Krakatau.


Pada masa itu pula, antusiasme kaum muda terhadap musik di Bandung menunjukkan fenomena yang menarik. Hal itu disebabkan menjamurnya rental-rental band di banyak tempat. Sejumlah rental band mudah ditemukan di mana-mana, bahkan sampai ke dalam gang-gang sempit. Anak-anak muda itu pun ramai membuat grup-grup band untuk tampil di berbagai kesempatan, mulai dari pangung "17 Agutusan" hingga acara-acara perpisahan sekolah. Mereka semua merasa berhak untuk menjadi pemain band, tampil dengan berbagai atraksinya. Bahkan, ketika itu, ada olok-olok "pagawe band" bagi mereka yang gandrung bermusik.


Hal ini dipicu oleh radio-radio swasta yang menyiarkan program-program seperti Stones Night, Queen Night, atau Genesis Night. Tak jarang radio-radio itu juga mengadakan pergelaran musik, seperti "Stones Night", yang juga pernah terjadi pada tahun 1970-an di Gedung Merdeka atau "Genesis Night" di GOR Saparua pada akhir 1980-an. Suasana pada tahun 1970-an seakan-akan terulang kembali ketika itu, atau paling tidak jejak itu masih terasa.

**


ANTUASIASME publik musik Bandung akhirnya semakin terasa memasuki dekade 1990-an dan awal tahun 2000. Hal itu tak bisa dipisahkan dari peran informasi media, terutama televisi-televisi swasta. Selain itu, pentas-pentas musik semakin marak dengan dukungan pihak-pihak sponsor besar dan manajemen yang lebih rapi. Jenis musik yang ditampilkan pun kian beragam. Tak hanya rock atau pop, tetapi juga dangdut yang belakangan malah menguasai pentas-pentas itu.


Kenyataan ini jelas berpengaruh pada pilihan warna-warna musik. Satu hal yang menonjol dalam perkembangan musik di Bandung ketika itu adalah munculnya fenomena grup-grup musik yang merekam dan mendistribusikan albumnya sendiri, yang kemudian dikenal dengan penamaan indie label.


Menurut Micko, fenomena sikap independen para musisi muda di Bandung ketika itu bukanlah hal yang baru. "Sebenarnya hal itu sudah dilakukan oleh segelintir anak-anak muda di Bandung sejak tahun 1980-an, terutama di kampus-kampus, sebutlah Pas Band. Namun, waktu itu belum dinamakan indie seperti sekarang."


Di samping juga munculnya kelompok musik baru dari Bandung, seperti Zamrud, Peterpan, /rif, atau Coklat ke dunia industri rekaman, dengan warna musik mereka yang tetap mendapat tempat teratas dalam publik musik Indonesia, indie label adalah fenomena dan penanda yang menarik di Bandung sepanjang tahun 1990-an dan awal tahun 2000 ini. Apakah kemunculan fenomena ini merupakan perlawanan anak-anak muda di Bandung terhadap industri rekaman besar (major label) untuk mempertahankan kemandirian pilihan warna musik mereka? Bisa jadi demikian, atau jangan-jangan hanya sekadar cara untuk masuk ke industri rekaman major?


"Itu semua terpulang pada musisinya," ujar Ferry Curtis dan Micko. Lepas dari semua jawaban itu, Mukti-Mukti menengarai bahwa ada gejala industri rekaman major justru tengah mengintip kecenderungan warna musik indie label.


Bandung dan musik Indonesia, akhirnya, memang semua denyut dari riwayat yang menarik. Denyut dan riwayat yang terus bergerak, mempertaruhkan ide-ide kreatif musikal mereka. Tak hanya bagi apa yang disebut pasar dan kepopuleran, tetapi juga bagi sebuah ekspresi.***

1 komentar:

  1. ada yang tahu tentang Penyanyi Rita Ruby Hatlan dan judul lagu2nya saya lagi nyari mp3nya

    BalasHapus

apa pendapat anda tentang blog ini....